Hampir tak ada alasan lain untuk bertahan di HMI
selain karena terlanjur. Terlanjur cinta, mungkin. Dan saya kira, itulah yang
membuat saya masih mau menggerakan jari-jari mengarungi belantara kata-kata,
baris, tanda baca dan titik-koma dan membuat tulisan ini. Terkesan alturistik
dan so romantik memang. Tapi saya kira tidak ada alasan lain yang bisa membuat
saya bisa bertahan di HMI. Kalau saya memakai logika saya yang jernih, dan
menerapkan hasil penalaran itu dalam sikap saya, maka saya seharusnya tak lagi
di HMI. Hampir tak ada alasan logis untuk bertahan di HMI.
Seharusnya aku bukan HMI. Tapi masih ada alasan,
meski bukan alasan rasional: cinta. Cinta itu bukan bagian dari struktur rasio.
Cinta itu bagian non-rasional dalam fakultas manusia. Cintalah yang membuat
para tentara Jepang melakukan harakiri, dengan menabrakan pesawatnya ke Pearl Harbour, dalam perang dunia ke dua.
Cintalah yang membuat orang bangga berkata: right or wrong it’s my
country. Cinatalah yang membuat Romeo
dan Juliet menjadi legeda. Bahkan, cintalah yang membuat semesta realitas
menjelma.
Cinta itu sesuatu yang tidak mungkin diungkapkan,
karena sejatinya tidak perlu diungkapkan. Cukup dirasakan, cukup dinikmati,
cukup diratapi.
Dan cinta itu adalah memberi bukan menerima, kata
Erich Fromm. Kata-kata itu begitu dalam maknanya. Memberi itu membuat seseorang
aktif, dinamis dan sekaligus menunjukan eksistensinya. Rasul kita Muhammad
mengajarkan, tangan datas lebih baik dari tangan di bawah, karena tangan di
atas itu memberi sementara tangan di bawah itu menerima. Memeberi sebenarnya
adalah tindakan penyatuan. Dan tiulah esensi dari cinta: mengatasi rasa
keterasingan dan keterpisahan. Cintalah yang membuat kita tidak sendiri, meski
menurut Chairil Anwar hidup adalah kesunyian nasib masing-masing.
Dalam mitologi Yunani kita bisa menemukan sebuah
legenda tentang manusia. Konon, manusia pada awalnya adalah mahluk yang maha gagah.
Dia mempunyai empat mata, dua mulut, empat tangan empat kaki, dengan satu wajah. Karena
kekuatan manusia yang tak tertandingi itu para dewa cemburu dan akhirnya mereka
membuat konspirasi untuk menghancurkan manusia. Dalam sebuah pertarungan
akhrnya manusia kalah, tubuhnya terbelah dua. Semenjak tubuhnya terbelah dua
ini, kekuatannya menjadi hilang. Satu bagianh menajadi laki-laki dan satu
bagian menajdi perempuan. Kedua bagian tubuh itu senantiasa ditakdirkn untuk
terpisah selamanya. Namun satu sama lainnya terus saja mencari untuk pada
momen-momen tertentu menyatu. Yang menyatukan mereka adalah cinta, semacam
hasrat penyatuan dan hasrat mengatasi kesendirian. Pada saat momen-momen penyatuan oleh cinta
itulah manusia mendapatkan kembali kekuatannya sebegaimana sebelum di belah
(dipisahkan) oleh para dewa. Itulah kenapa manusia bisa mendaki gunung
tertinggi, mengarungi samudara yang tak terpermanai, melakuan hal-hal yang
sepertinya mustahil.
Dalam karyanya, Fromm pernah mengemukan dua modus
eksistesi dalam cinta. Cinta itu ada yang bersifat “memiliki” (to have) dan ada
yang “menjadi” (to be). Modus relasi dalam cinta yang memiliki itu seperti
ralasi dua benda, atau subjek dengan benda. Polanya: “saya” (i) dan “sesuatau”
(it). Kata-kata dalam kehidupan kita sebagian besar mencerminkan hal tersebut:
“saya punya pacar”; “pacar gue”, “cewe
gue” dan lain-lain. Hubungan antara manusia dengan manusia lain telah, meminjam
istilah kaum Marxsis, tereifikasi, terbendakan. Kekasih telah, dengan tanpa
sadar tentunya, diposisikan seperti “kepunyaan” yang bisa kita miliki. Di
miliki artinya bisa dikuasai. Yang dikuasai biasanya memberikan apa yang
menjadi miliknya dengan, bukan karena keikhlasan, terpaksa. Penguasa cenrung
ingin diberi, dihargai, dilayani. Kekasih telah turun derajatnya menjadi
benda. Cinta ini ciri utaanya adalah
menerima, atau diberi.
Seharusnya cinta itu memberi, bukan diberi. Dalam
cinta yang seperti ini, pola interaksinya adalah: “aku” dan “kamu” bukan “aku”
dan “sesuatu”. Dalam pola seperti ini, kita memposisikan masing-masing pasangan
sebagai manusia yang punya keinginan, punya otonomi dan kemandirian, punya ego.
Karena itu dalam pola yang seperti ini pasangan duduk sama tinggi dan saling
menghormati. Dalam pola seperti ini, tak ada keinginan salah satu harus menjadi
apa yang diinginkan oleh yang lain. Kedunya harus menjadi dirinya sendiri,
bukan menjadi apa yang diinginkan pasangannya. Karena itu cinta seperti ini
adalah cinta yang “menjadi”. Satu model cinta yang dinamis dan senantiasa
dibentuk dalam perjalanan. Berdialektika menaiki tangga tanpa henti. Berproses
untuk semakin dewasa, semakin mawas diri, semakin arif, semakin militan dan
lain-lain.
Dan seharunya cinta di HMI ini adalah cinta
“memberi”.
Karena itu pulalah orang bijak berkata: jangan kau
tanya apa yang telah kau dapatkan dari bangsamu, tapi bertanyalah apa yang
telah kau berikan buat bengsamu itu. Kalau ada seorang kader yang masih
berpikir dirinya tidak mendapatkan apa-apa dari HMI, seperti saya, maka kader
tersebut belumlah menghayati bagaimana seharusnya dia hidup di HMI. HMI tidak
bisa memberikan apa-apa. Kita yang harus memberi, karena menurut Fromm, ketika
kita memberi, maka kita menerima. Menerima adalah konsekuensi logis dari
tindakan memberi.
Seharusnya seperti itulah kita hidup di HMI.
_____________________________________________________________________________
Komentar Penulis:
HMI ibarat rumah bagi saya, menemukan kawan-kawan
yang satu visi dan misi dengan saya.
Mungkin banyak orang yang tahu tentang HMI, karena
HMI didirikan dari tahun 1947 oleh Prof.Lafran Pane.
Banyak kader yang merasa terjebak untuk mengikuti LK
1 pada awalnya, namun seiring dengan banyaknya kegiatan yang mereka ikuti,
lambat laun pendapat tersebut berganti dengan bangganya ia menjadi salah satu
kader HMI.
Ya itulah HMI. :)
sumber :
https://zenzaenal.wordpress.com/2009/09/21/seharusnya-aku-bukan-hmi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar